MY-Artikel Today: Cara Menyikapi Isu Presiden 3 Periode ala Jokowi dan SBY
Perlu diketahui sebelumnya bahwa isu Presiden 3 periode bukanlah wacana yang baru muncul ketika era Presiden Joko Widodo sebagaimana yang ramai menjadi perbincangan publik saat ini. Namun, isu presiden 3 periode juga kerap menerpa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjelang akhir 2 periode pemerintahannya kala itu.
Di era Jokowi, wacana penundaan pemilu hingga perpanjangan masa jabatan presiden ini kembali memicu polemik semenjak keluarnya pernyataan sang presiden dalam momen wawancara dengan Harian Kompas. Jokowi mengizinkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden karena setiap orang bebas berpendapat sebagai bagian dari demokrasi.
“Tetapi kalau sudah dalam pelaksanan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi” kata Jokowi dalam wawancara tersebut.
Pernyataan itu muncul sebagai bentuk respon Jokowi terhadap dorongan elite politik, salah satunya Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar, yang ingin pemilu ditunda 2 tahun. Isu tersebut semakin menguat setelah PAN dan Golkar mendorong isu serupa dan ditambah lagi dengan keikursertaan Luhut yang dengan lantangnya menyuarakan hal yang sama dengan mencomot data tingginya tingkat kepuasan masyarakat terhadap Jokowi sebagai salah satu alasan pembenarannya.
Pernyataan Jokowi tersebut justru menimbulkan kegaduhan dikarenakan tidak konsisten dengan sikapnya pada Desember 2019 lalu. Di mana pernyataan Jokowi saat itu “menampar muka saya, jika 3 periode“. Sementara, pada Maret 2021, Jokowi dengan jelas menolak wacana tersebut dengan dalil menjaga amanat undang-undang.
Namun, pernyataan terbaru Jokowi soal wacana penundaan pemilihan umum serentak yang dijadwalkan pada 14 Februari 2024 merupakan sikap yang abu abu atau tidak jelas. Sehingga sangat wajar jika wacana ini terus menjadi perbincangan publik dan memperoleh tudingan inkonstitusi.
Berbeda halnya dengan isu presiden 3 periode di era SBY. Menjelang akhir periode ke dua pemerintahannya (2009-2014) juga dihempas dengan isu tersebut. Pada 2011, SBY secara tegas menolak tidak mau 3 periode dan menyatakan istrinya tidak akan maju pada Pemilu 2014. Kemudian di tahun terakhir pemerintahannya (2014), juga memastikan dirinya tidak mau menjabat 3 periode. Saat itu bermula dari pernyataan Romahurmuziy (Sekjen PPP saat itu) yang ingin SBY menjadi Cawapres 2014 demi “mengakali aturan” agar SBY bisa 3 periode. Namun SBY secara tegas menolak gagasan tersebut.
Berdasarkan dua fenomena di atas bukan bermaksud membandingkan mana yang benar atau salah dari dua orang hebat yang pernah menduduki peringkat orang nomor satu di republik ini, tapi belajar mengambil hikmah dibalik kejadian atau fenomena yang sama. Karena tidak baik membiarkan wacana 3 periode ini terus menerus larut dalam perbincangan publik bahkan menuai penilaian yang mungkin tidak semestinya serta ditambah lagi masih ada masalah-masalah lain yang lebih penting untuk diseriusi dan perlu solusi. Jika menyimak kedua fenomena tersebut, di era SBY isu 3 periode ini menjadi begitu mudah difahami publik dan tidak menimbulkan multitafsir karena SBY menyikapinya secara tegas dari awal isu ini muncul dan selalu konsisten.
Di era Jokowi, tim editorial MY Institute melihat bahwa sumber keributannya adalah dari statemen beliau sendiri yang tidak konsisten, sehingga sangat wajar jika berbagai kubuh baik yang pro ataupun kontra dengan pemerintahan berpeluang untuk bermain dengan isu ini sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Namun perlu diketahui bahwa pada dasarnya pak Jokowi punya potensi yang sama dengan SBY, yaitu dapat bersikap tegas dengan wacana tersebut. Sehingga wacana ini tidak berlarut-larut dalam ketidakjelasan dan jangan sampai menggerus kepercayaan publik pada konstitusi. Hal ini dapat dilakukan dengan memanggil orang-orang koalisi internal, Pak Luhut dan pendukung-pendukungnya yang selalu menyuarakan 3 periode ini, untuk diberi pemahaman agar sama2 menjaga ketertiban, tunduk dan patuh pada amanat konstitusi.
Penulis:
MYInstitute
Referensi: